بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi termulia, pemuka para rosul. Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Alloh dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya.
Artikel Tentang Dakwah kepada As-Sunnah dan Tahdzir
http://obat-penyejuk-hati.blogspot.com
Artikel Tentang Dakwah kepada As-Sunnah dan Tahdzir
http://obat-penyejuk-hati.blogspot.com
Dakwah kepada As-Sunnah dan Tahdzir
Salah satu prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah para pengikut salaf ialah dakwah (mengajak) kepada As-Sunnah An-Nabawiyyah. Ini adalah landasan utama persatuan dan kesatuan serta sebab bersatunya kaum muslimin. Bahkan sebagai perlindungan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
As Sunnah adalah asas persatuan, dan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam adalah teladan dalam (menjalankan) agama ini. Demikian pula para sahabatnya rodhiyallohu 'anhum. Adalah Al-Haq (kebenaran) dan hidayah serta bimbingan senantiasa ada di dalam meneladani mereka, Mereka tidak akan bersatu (sepakat) di atas kebatilan. Berbeda dengan orang-orang selain mereka, dari berbagai kelompok-kelompok yang ada, karena mereka justru bersatu di atas kebatilan dan kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh telah menerangkan :
“Tidak boleh ada pembelaan (wala) terhadap tokoh tertentu secara umum dan mutlak kecuali hanya kepada Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam. Tidak pula kepada kelompok tertentu kecuali kepada para sahabat rodhiyallohu 'anhum. Karena sesungguhnya Al-Huda senantiasa ada bersama Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam di manapun beliau berada. Begitu pula para sahabatnya.” (Minhajus Sunnah, 5/261).
Adalah nash (dalil) syariat telah menerangkan anjuran dan dorongan untuk mengikuti prinsip mulia ini. Prinsip yang menjadi tolak ukur persatuan dan kesepakatan di atas As-Sunnah dan jalan yang terang. Sehingga, tidak ada hujjah melainkan milik orang yang menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, dan tidak ada ‘ishmah (keterjagaan) dari penyimpangan kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan As-Sunnah dalam ilmu, amal, pendalilan dan pemahaman serta ittiba’.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rohmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (QS.Al-Ahzab: 21).
Uswah artinya teladan. Tidak ada teladan (yang baik) kecuali Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam. Tidak ada ittiba’ kecuali (kepada) beliau, dan tidak ada keselamatan kecuali berjalan di atas jalan yang dilalui beliau.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Ali ‘Imran: 31)
Sehingga pengakuan cinta seseorang belum bisa diterima hingga dia membuktikan yaitu dengan ittiba’ serta tetap berpegang dengan As-Sunnah.
Ibnul Qoyyim rohimahulloh menjelaskan :
“Ketika semakin banyak orang-orang yang mengaku cinta, mereka dituntut menunjukkan bukti nyata pengakuan cintanya itu... Maka Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي (Katakanlah: Jika kalian (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku) Akhirnya semua mundur, kecuali orang-orang yang mengikuti al-habib (Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam) dalam setiap ucapan, tindakan, dan akhlaknya.”
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.”( QS. An-Nuur : 54).
Dalam ayat ini dengan tegas dan sangat jelas Alloh Subhanahu wa Ta'ala menyatakan bahwa hidayah itu berkaitan langsung dengan ittiba’ kepada RosulNya. Dan tentunya, ghiwayah (kesesatan, penyelewengan) berkaitan langsung dengan penyimpangan dari Sunnah RosulNya.
Hal ini ditegaskan dalam hadits riwayat Al-Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallohu 'anhuma :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْناَهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُوْلُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتاَبُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam jika berkhutbah matanya memerah, suaranya meninggi, marahnya meningkat hingga seakan-akan beliau (sedang) mengomando satu pasukan perang. Beliau berkata: ‘Perhatikan esok pagi dan petang kalian!’”
Beliau berkata pula: ‘Kemudian sesudah itu (amma ba’du). Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabulloh (Al Qur`an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shollallohu 'alaihi wa sallam). Dan seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah sesat.”
Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوا بِهاَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ
“Aku wasiatkan kalian bertakwa kepada Alloh, mendengar dan taat, meskipun kepada seorang budak Habasyi. Sesungguhnya, siapa yang hidup dari kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa`ur rosyidin yang terbimbing. Peganglah dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan waspadailah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (Abu Dawud dari Al-‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallohu 'anhu).
Beliau Shollallohu 'alaihi wa sallam juga mengatakan :
ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
“Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah!” (Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu).
Dari sejumlah dalil ini jelaslah bagi kita tentang keagungan As Sunnah dan kewajiban mengikuti As Sunnah. Adanya keselamatan bagi orang yang menempuh jalan yang digariskannya dan menjauhi hal-hal yang menyelisihinya. Pengertian seperti ini telah dipahami oleh para sahabat Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang meneladani mereka. Mereka senantiasa menyampaikan hadits tentang anjuran berpegang dengan tuntunan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam, mentahdzir (menjelaskan akan bahaya) bid’ah, mentahdzir orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, dan orang-orang yang berpegang kepada royu (pendapat atau akal semata).
Adalah sikap ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu 'anhu ketika dia berkata:
“Hati-hatilah dan jauhilah oleh kalian orang-orang yang menggunakan ro`yunya. Karena sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh As-Sunnah. Mereka dilemahkan oleh hadits-hadits, hingga tidak mampu menghafalnya. Akhirnya mereka berbicara dengan ro`yu mereka, maka mereka tersesat dan menyesatkan (orang lain).” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni rohimahulloh dalam Sunan dan Al-Lalikai rohimahulloh dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah).
Sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud rodhiyallohu 'anhu juga mengatakan :
“Ikutilah (Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam) dan jangan membuat bid’ah. Sesungguhnya kalian telah dicukupi (dalam masalah agama ini). Dan setiap bid’ah itu sesat.” (Al-Ibanah, 1/327).
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rohimahulloh berkata :
“As Sunnah ialah yang telah digariskan oleh orang yang tahu bahwa menyelisihinya adalah penyimpangan. Mereka lebih mampu untuk berdebat daripada kalian.” (Al-Ibanah)..
Jelaslah bagi kita bagaimana manhaj salaful ummah dalam ilmu, amal, dan dakwah. Yaitu senantiasa berpegang teguh kepada As Sunnah, mengikuti jalannya, dan mengajak manusia kepadanya serta mentahdzir agar menjauhi orang-orang yang menyelisihinya.
Agama Islam adalah (ajaran agama yang berisi) perintah dan larangan. Perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari semua kejahatan. Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهاَ فِيْ أَوَّلِهاَ وَسَيُصِيْبُ آخِرَهاَ بَلاَءٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهاَ
“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabipun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari…”(Ahmad dan Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-’Ash rodhiyallohu 'anhuma).
Jadi, dakwah (Islam) ini sempurna meliputi berbagai segi kehidupan. Dimulai dari yang paling utama (tauhid) kemudian yang berikutnya. Namun demikian, bukan berarti dakwah kepada tauhid harus menutup mata terhadap hal-hal lain yang terkait dengannya, yang merupakan syarat sempurnanya tujuan dakwah.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rohimahulloh berkata :
“Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala memberikan hidayah kepada kita semua menuju urusan agama kita yang lurus, bahwa perkara yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala perintahkan dan RosulNya Shollallohu 'alaihi wa sallam dakwahkan dan umatnya termasuk di dalamnya, mempunyai dua landasan utama, yang tidak mungkin lepas salah satu dari yang lainnya. Keduanya ialah:
a. Perintah beribadah hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan dorongan terhadap hal ini adalah mempunyai sikap wala` yang didasari oleh perkara ini, sekaligus mengatakan kafirnya orang-orang yang meninggalkan perkara ini.
b. Peringatan tentang bahaya syirik dalam beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, bersikap tegas dalam perkara ini dan menunjukkan sikap permusuhan yang didasari kebencian terhadap masalah (syirik) ini serta menyatakan kafirnya orang-orang yang melakukannya.
Inilah dakwah at tauhid adalah dakwah yang menyeru untuk berlepas diri dari semua bentuk kesyirikan dan bid’ah serta para pelakunya.
Sesungguhnya siapapun yang mempelajari Kitabulloh dan Sunnah Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam, tentu melihat bahwa agama ini dibangun di atas dua landasan utama ini, yaitu ta`shil dan tahdzir.
Ta`shil yakni membentuk prinsip pokok tentang kebenaran (al-haq) sekaligus menerangkannya. Adapun tahdzir, yaitu memperingatkan manusia agar menjauhi berbagai bentuk kebatilan. Sebagaimana perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهاَ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS.Al-Baqoroh: 256)
Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan bahwa tidaklah seseorang menjadi muslim (sejati, baca salafi sejati) yang berjalan di atas kemuliaan dan jalan yang lurus sampai dia menghimpun kedua prinsip dasar ini. Yaitu mengingkari atau menentang terhadap berbagai bentuk kebatilan dan semua yang diibadahi selain Alloh Subhanahu wa Ta'ala, sekaligus beriman hanya kepada Alloh satu-satunya, tidak ada sekutu bagiNya, baik dalam uluhiyah (peribadatan), rububiyah (perbuatan-perbuatan Alloh Subhanahu wa Ta'ala), maupun dalam masalah asma‘ wa shifat (nama dan sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta'ala).
Bahkan, seseorang tidak pula akan dikatakan sebagai muttabi’ (pengikut) Sunnah hingga dia menambahkan adanya sikap hajr (meninggalkan) dan tahdzir (memperingatkan bahaya) bid’ah dan ahli bid’ah serta membenci mereka.
Jadi, tahdzir dari orang-orang yang mempunyai penyakit zaigh (cenderung kepada kesesatan), bid’ah, dan hawa nafsu adalah salah satu prinsip dasar dari ushul (prinsip pokok) ajaran Islam. Dan ini adalah sebagai bentuk pemeliharaan bagi kemurnian syariat dan membentengi aqidah kaum muslimin dari kerusakan.
Ini sesungguhnya telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آياَتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang berkecimpung dalam ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzolim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS.Al-An’am: 68).
Al-Imam Asy Syaukani rohimahulloh dalam Fathul Qodir (2/122) menerangkan :
“Di dalam ayat ini terkandung nasehat dan peringatan besar bagi mereka yang membolehkan duduk bermajelis dengan ahli bid’ah, (yaitu) orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala, mempermainkan Kitab-Nya dan sunnah RosulNya, serta mengembalikannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika dia tidak (mampu) mengingkari atau mengubah keyakinan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka. Dan ini tentu lebih mudah.”
Kemudian Alloh Subhanahu wa Ta'ala mengatakan :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتاَبِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آياَتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهاَ وَيُسْتَهْزَأُ بِهاَ فَلاَ تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Alloh telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Alloh diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu termasuk mereka.” (QS.An-Nisa`: 140).
Al-Imam Al-Qurthubi rohimahulloh dalam Tafsir beliau (5/418) menerangkan makna dari ayat ini :
“Ayat ini menegaskan wajibnya menjauhi para pelaku maksiat, apabila terlihat kemungkaran yang mereka kerjakan. Sebab, orang yang tidak mau menjauhi mereka berarti dia ridho (senang) dengan perbuatan maksiat itu. Sedangkan ridho kepada kekafiran berarti kafir. Sebagaimana perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala ini: إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ {Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu termasuk mereka}. Maka siapapun yang duduk bersama pelaku maksiat dan tidak mengingkari mereka, dosa mereka sama....dan apabila dia tidak mampu mengingkarinya, hendaklah dia pergi meninggalkan majelis tersebut agar tidak tergolong orang-orang yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini. Dan apabila telah jelas keharusan menjauhi pelaku maksiat, maka menjauhi pelaku bid’ah itu jelas lebih diutamakan...”
Adalah perkataan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rohimahulloh dari ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu:
لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ
“(Semoga) Alloh melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. (Semoga) Alloh melaknat orang yang menyembelih untuk sesuatu selain Alloh. Dan (semoga) Alloh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Dan (semoga) Alloh melaknat orang yang merubah batas tanah.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrohman bin Hasan Alusy Syaikh rohimahulloh menukil perkataan Ibnul Atsir, mengatakan:
“Kalau huruf dal dibaca dengan kasrah (مُحْدِثاً), artinya pelaku kejahatan (jaani), kalau dibaca fathah (مُحْدَثاً), artinya adalah perkara yang diada-adakan. Sehingga maknanya dalam bentuk pertama, melindungi dan membela pelaku kejahatan itu dari lawan yang menuntutnya. Adapun dalam bentuk kedua ini artinya ialah ridho dan bersabar menjalankannya. Karena sesungguhnya kalau seseorang ridho terhadap suatu bid’ah, menyetujui pelakunya dan tidak mengingkari, berarti dia telah melindungi dan membelanya.” (Fathul Majid hal. 175-176).
Dan kita tahu, bahwa bid’ah itu jauh lebih berbahaya daripada maksiat. Karena seorang pelaku maksiat, ada kemungkinan mudah untuk bertaubat. Bahkan terkadang, mereka melakukannya sembunyi-sembunyi karena tahu yang dikerjakannya itu salah dan dosa. Sedangkan pelaku bid’ah, sangat sulit diharapkan bertaubat, sebab mereka merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya itu benar dan merupakan ajaran agama.
Oleh karena itulah Sufyan Ats-Tsauri rohimahulloh mengatakan bahwa bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat.
Dari sini, maka tidaklah pantas pula bagi seorang muslim yang beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan hari kemudian, untuk menjadikan jumlah mayoritas sebagai ukuran suatu kebenaran. Karena al-haq itu tidaklah dinilai dari banyak sedikitnya pengikut. Akan tetapi al-haq dinilai dan dikenal dari dalil-dalil syariat, ayat-ayat Al-Qur‘an, dan As-Sunnah.
Perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh.” (Al-An’am: 116).
Al-Wala`wa Al-Baro`
Setiap mukmin adalah wali Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan mereka adalah wali bagi mukmin lainnya. Sedangkan orang-orang kafir adalah musuh Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan musuh orang-orang yang beriman.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan agar kaum mukminin berwala` kepada sesama mukminin. Alloh Subhanahu wa Ta'ala tegaskan pula bahwa sikap wala` ini merupakan konsekuensi dari keimanan. Bahkan dia merupakan bagian dari makna kalimat syahadat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh).
Inilah ajaran (millah) Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan orang-orang yang bersama beliau. Alloh Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan kita untuk mengikuti ajaran tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْناَ بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَناَ وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Alloh, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Alloh saja’.” (QS.Al-Mumtahanah: 4).
Memang, ayat ini adalah anjuran untuk bara` (benci) terhadap orang-orang kafir, tetapi makna atau hukumnya berlaku umum. Artinya dapat pula diterapkan kepada orang-orang yang fajir (jahat, durhaka) dan ahli bid’ah. Oleh sebab itu para pendahulu kita yang sholih dari kalangan sahabat terang-terangan menampakkan sikap baro` mereka terhadap bid’ah dan ahlinya. Sebagaimana kita maklumi hal ini dari sikap Ibnu ‘Umar rodhiyallohu 'anhuma yang mengatakan: “Sampaikan kepada mereka (orang-orang Qadari(Yang menolak adanya takdir dan berkeyakinan bahwa semua kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Wallohu a’lam.), bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.” Beliau ucapkan tiga kali. (Muslim dalam Shohihnya, Al-Lalikai rohimahulloh dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 2/588).
Prinsip ini (al-wala‘ wal baro‘) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang merasakan manisnya iman. Hal ini ditegaskan oleh Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam:
ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْماَنِ مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُماَ وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَماَ يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ
“Tiga hal yang apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) seseorang yang Alloh dan RosulNya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Alloh. Dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Alloh menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh menerangkan :
“...perlu diketahui bahwa seorang mukmin wajib kamu cintai meskipun dia mendzolimi kamu. Dan orang kafir harus kamu benci meskipun dia berbuat baik dan memberikan sesuatu kepadamu. Karena sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RosulNya dan menurunkan Kitab-kitab-Nya agar agama (ibadah) ini seluruhnya hanya diserahkan kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, sehingga cinta kepada wali-waliNya dan membenci musuh-musuhNya...
Kemudian, apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, kedurhakaan dan ketaatan, sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan wala` sebatas kebaikan yang ada padanya dan berhak menerima baro` (kebencian) dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang ada padanya. Seperti seseorang yang mencuri, harus dipotong tangannya sebagai hukuman, namun juga dia tetap disantuni dengan menerima bagian dari baitul mal (kas negara) untuk mencukupi kebutuhannya. Dan inilah salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berbeda dengan orang-orang Khawarij, Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka.” (Majmu’ Fatawa (28/209).
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Salah satu perkara yang harus ditunaikan dalam prinsip Al-Wala` wal Bara` ialah amar ma’ruf nahi munkar sebagai salah prinsip yang utama dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu wasilah utama yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala perintahkan. Bahkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala menjadikannya sebagai ciri khas dari dakwah para Nabi dan Rosul 'alaihimussalam dan sebagai tanda bagi hamba-hambaNya yang beriman.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْساَنِ وَإِيْتآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS.An-Nahl: 90)
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata tentang sifat NabiNya Shollallohu 'alaihi wa sallam:
الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْباً عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهاَهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّباَتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَباَئِثَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rosul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharomkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS.Al-A’raf: 157).
Ayat ini menerangkan kesempurnaan risalah Nabi Muhammad Shollallohu 'alaihi wa sallam. Karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan semua kebaikan dan melarang semua kemungkaran melalui lisan beliau, menghalalkan yang baik dan mengharomkan yang keji.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mensifati umat ini sesuai dengan sifat NabiNya, sebagaimana perkatanNya:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Alloh..” (QS.Ali ‘Imron: 110).
Dan perkataanNya:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِناَتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (QS.At-Taubah: 71)
Dalam ayat ini, Alloh Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa umat ini adalah umat terbaik, paling bermanfaat dan paling besar kebaikannya kepada sesama manusia, karena mereka menyempurnakan urusan (kehidupan) manusia dengan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mereka telah menjalankannya secara sempurna, bahkan menegakkannya dengan jihad di jalan Alloh dengan jiwa dan harta mereka. (Majmu’ Fatawa, 28/123).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh mengatakan :
“Menganjurkan manusia agar berpegang dan mengikuti As Sunnah serta mencegah jangan sampai bid’ah muncul dan tersebar adalah amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini merupakan amalan sholih yang paling mulia, sehingga seharusnya betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlasan mengharapkan wajah Alloh Subhanahu wa Ta'ala.”(Minhajus Sunnah, 5/253).
Termasuk amar ma’ruf nahi munkar adalah kritik terhadap berbagai kesalahan atau penyimpangan dan menjelaskannya kepada manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh menyatakan:
“Dai yang mengajak kepada satu bid’ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum muslimin. Hukuman itu kadang berupa hukuman mati atau yang lebih ringan, sebagaimana para salafus sholih membunuh Jahm bin Shifwan, Ja’d bin Dirham, Ghoilan Al-Qodari, dan lain-lain(Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu 'anhu telah menghukum Shobigh At-Tamimi yang menanyakan hal-hal mutasyabihat dari Al Qur`an. Beliau memukul kepala Shobigh hingga bercucuran darah, kemudian memerintahkan kaum muslimin menjauhinya selama satu tahun). Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid’ahannya dan mentahdzir manusia supaya menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan RosulNya.”(Majmu’ Fatawa 35/414.
Oleh karena inilah menjadi wajib untuk menerangkan perihal orang-orang yang keliru dalam hadits atau periwayatan, dalam hal pemikiran ataupun fatwa. Bahkan juga mereka yang salah dalam masalah zuhud dan ibadah. (Majmu’ Al-Fatawa (28/234).
Adapun dalil dalam masalah ini ialah dalil-dalil yang berkaitan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga tidak selayaknya bagi setiap individu kaum muslimin untuk merasa sesak dan sempit dadanya (menerima) kritikan atau sejenisnya. Karena hal ini adalah bagian dari pelaksanaan sikap adil yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala perintahkan kepada kita, sebagaimana dalam perkataanNya:
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدآءَ ِللهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيْرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِماَ فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوْا وَإِنْ تَلْوُوْا أَوْ تُعْرِضُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِماَ تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjaan.” (QS.An-Nisa`: 135)
Al-Layy (memutar balikkan kata-kata) sama dengan dusta, sedangkan i’rodh (enggan menjadi saksi) sama dengan kitman (menyembunyikan kesaksian), demikian diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh.
Lantas bagaimana mungkin dibenarkan bagi seorang mukmin pengakuannya (dia beriman) jika diiringi sikap kitman, berlindung di balik kepalsuan dan keduataan? Apalagi dikatakan oleh Abu ‘Ali Ad-Daqqoq rohimahulloh bahwa orang yang diam terhadap suatu kemungkaran, adalah syaithon yang bisu. Dan orang yang berbicara dengan suatu kebatilan adalah syaithon nathiq (syaithon yang pandai bicara).(Sittud Duror hal. 109).
Tentunya, tidak diragukan lagi, ghiroh (kecemburuan) yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala letakkan di dalam hati seorang mukmin terhadap apa yang diharomkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala inilah yang sebenarnya menjadi motivasi baginya untuk menjalankan kewajibannya ini. Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :
إِنَّ اللهَ يَغاَرُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغاَرُ وَغَيْرَةُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ ماَ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta'ala mempunyai sifat cemburu. Dan seorang mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Alloh Subhanahu wa Ta'ala adalah ketika seorang mukmin melanggar apa yang diharomkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.” (Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)
Sehingga, jika setiap kali seorang mukmin yang ingin memperbaiki satu kekeliruan atau meluruskan suatu penyimpangan dicegah, dengan dalih bukan saatnya, lantas sampai kapan orang yang diperingatkan tersebut menyadari kesalahannya dan sampai kapan orang yang sakit itu akan sembuh?
Bahkan, bukanlah merupakan bentuk wala` terhadap kaum mukminin, kalau seseorang membantu saudaranya dalam kebatilan, padahal saudaranya itu membutuhkan teguran secara syar’i. Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu meriwayatkan dari Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam :
انْصُرْ أَخاَكَ ظَالِماً أَوْ مَظْلُوْماً. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْماً، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِماً؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
“Tolonglah saudaramu yang dzolim atau yang didzolimi (teraniaya).” Para shahabat bertanya: “Wahai Rosululloh. Kami jelas akan menolong yang didzolimi, lalu bagaimana kami menolong saudara kami yang dzolim?” Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: “Yakni kamu tahan tangannya agar tidak berbuat dzolim.” (Bukhori)
Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam menerangkan pula bagaimana pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:
مَثَلُ الْقاَئِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهاً كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ فَأَصاَبَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهاَ وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهاَ فَكَانَ الَّذِيْنَ فِي أَسْفَلِهاَ إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْماَءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوْا: لَوْ أَنَّا خَرَقْناَ فِيْ نَصِيْبِناَ خَرْقاً وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَناَ. فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَماَ أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعاً
“Perumpamaan orang yang menjaga batas-batas hukum yang ditetapkan Alloh dan orang yang terjerumus ke dalamnya adalah seperti suatu kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian ada yang di sebelah atas, yang lain di bawah. Kemudian yang berada di bawah, apabila ingin minum melintasi orang-orang yang ada di atas mereka. Maka mereka (yang di bawah ini) berkata: ‘Kalau kita lubangi bagian kita di dasar (kapal) ini, tentulah kita tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita.’
Maka seandainya orang-orang yang di atas membiarkan orang-orang yang di bawah melakukan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka akan binasa (tenggelam) semuanya. Namun kalau mereka (yang di atas) menahan (mencegah) orang-orang yang berada di bawah mereka, maka mereka selamat dan selamatlah semuanya.” (Bukhori dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir rodhiyallohu 'anhu)
Dalam hadits ini menegaskan kepada kita bahwa bahaya yang terjadi seandainya inkarul munkar (mencegah, menghalangi kemungkaran) ditinggalkan bahkan bala’ tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi seluruh orang yang diam terhadap kemungkaran tersebut. Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan kita bahwa uqubah tidak hanya menimpa orang yang dzolim semata:
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خاَصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقاَبِ
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzolim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Alloh amat keras siksaanNya.” (QS.Al-Anfal: 25)
Oleh karena itu, menghadapi ahli bid’ah dan para pengekor hawa nafsu, menerangkan dan membongkar kebatilan mereka (juga tokoh-tokohnya) merupakan upaya perlindungan terhadap kaum muslimin, agar tidak dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh menerangkan bahwa musuh-musuh Alloh ada dua: dari kalangan kuffar (orang-orang kafir) dan munafikin. Dan tentunya menghadapi yang kedua ini lebih sulit.
Beliau mengatakan pula: “Apabila suatu kelompok bukan dari kalangan munafikin, namun suka mendengarkan perkataan orang-orang munafikin, telah kabur atas mereka urusan orang-orang munafikin tersebut. Sehingga dia mengira ucapan mereka adalah benar, padahal menyelisihi sunnah. Akhirnya mereka menjadi corong yang menyuarakan dan mengajak kepada bid’ah (yang dianut) orang-orang munafikin tadi. Hal ini sebagaimana perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
لَوْ خَرَجُوْا فِيْكُمْ ماَ زَادُوْكُمْ إِلاَّ خَباَلاً وَلأَوْضَعُوْا خِلاَلَكُمْ يَبْغُوْنَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُوْنَ لَهُمْ
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka..” (QS.At Taubah: 47)
Maka harus diterangkan keadaan orang-orang tersebut. Fitnah yang ditimbulkan mereka lebih hebat, karena pada diri mereka ada iman yang mendorong kita wajib bersikap loyal (wala`) kepada mereka. Sementara mereka telah terjerumus ke dalam bid’ah kaum munafikin yang merusak agama ini. Sehingga, mesti ada tahdzir dari bid’ah tersebut, meskipun hal itu mengharuskan penyebutan mereka dan ta’yin (menerangkan nama tokoh-tokohnya). Bahkan kalaupun mereka tidak mengambil bid’ah itu dari kaum munafikin, namun muncul dari pendapat sendiri yang mereka anggap bahwa hal itu adalah petunjuk, kebaikan bahkan merupakan agama, tetap wajib untuk menerangkan keadaan (kesesatan) mereka.”(Majmu’ Fatawa, 28/233).
Para ulama menganggap bahwa berjihad menghadapi orang-orang seperti ini lebih utama.
Yahya bin Yahya, guru Al-Imam Al-Bukhori dan Muslim rohimahumulloh, mengatakan: “Membela As-Sunnah lebih utama daripada jihad.”
Demikian pula Al-Humaidi, guru Al-Imam Al-Bukhori yang lain mengatakan: “Demi Allah, memerangi orang-orang ini (ahli bid’ah) yang menolak hadits Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam jauh lebih aku sukai daripada memerangi orang-orang kafir sebanyak mereka.”
Akan tetati, hendaknya diperhatikan dalam masalah ini. Yaitu perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجاَدِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).
Dan perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
اذْهَباَ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”(QS.Thoha: 43-44)
Juga sabda Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam dari hadits ‘Aisyah rodhiyallohu 'anha:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ
“Sesungguhnya kelemahlembutan itu, tidaklah dia berada pada sesuatu melainkan tentu menghiasinya.” (Muslim).
Jelas di sini betapa pentingnya sikap lemah lembut. Dan sebelum itu semua, yang utama adalah ilmu. Sehingga setiap orang yang mau menjalankan amar ma’ruf nahi munkar harus tahu mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Jangan sampai dia justru mengingkari sesuatu yang ternyata merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) atau sebaliknya. (Majmu’ Fatawa, 28/136)
Namun perlu juga kita pahami di sini, bahwa kelembutan bukan berarti kita harus diam terhadap kemungkaran dan kebid’ahan. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rohimahulloh menyatakan:
“Tidak diragukan bahwa syariat Islam ini adalah syariat yang sempurna, datang membawa tahdzir terhadap berbagai sikap ghuluw (melampaui batas) dalam urusan agama. Memerintahkan dakwah ke jalan yang haq dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debat dengan cara yang lebih baik. Akan tetapi ternyata syariat ini sama sekali tidak melupakan sikap keras dan tegas yang diletakkan pada tempatnya, di mana lemah lembut dan debat tidak lagi berguna. Sebagaimana perkatan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
يآ أَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka..” (QS.At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9)
Dan perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا قاَتِلُوا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً
“wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka mendapati sikap keras dalam diri kalian.” (QS.At-Taubah: 123)
Sikap keras ini, jika memang dibutuhkan harus dilaksanakan walaupun terhadap sesama muslim. Tidakkah kita lihat bagaimana Alloh Subhanahu wa Ta'ala membolehkan dalam masalah ini, sebagaimana perkataanNya:
وَإِنْ طَائِفَتاَنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُماَ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُماَ عَلَى اْلأُخْرَى فَقاَتِلُوْا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيْءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Alloh.” (QS.Al-Hujurot: 9)
Bahkan terkadang seorang mukmin akan lebih keras dan tegas mengingkari kemungkaran yang ada pada saudaranya daripada terhadap musuhnya (orang kafir). Kita lihat bagaimana lembutnya Nabiyullah Musa 'alaihissalam mengajak Fir’aun kepada tauhid, tetapi keras terhadap saudaranya Harun 'alaihissalam di mana Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata tentang hal itu:
وَأَلْقَى اْلأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيْهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ
“Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya.” (QS.Al-A’raf: 150)
Apakah ada orang yang membantah Nabi Musa 'alaihissalam dan menganggapnya tidak mempunyai sikap wala` terhadap saudaranya Nabi Harun 'alaihissalam, beliau berlemah lembut kepada musuhnya seorang thoghut besar, tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri?
Kita lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat terhadap sebagian para shahabatnya, bagaimana tegasnya beliau terhadap Usamah bin Zaid bin Haritsah rodhiyallohu 'anhuma, kesayangan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam putra kesayangan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan syahadat, dan beliau berkata kepadanya:
يَا أُسَامَةُ، أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ ماَ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؟ قُلْتُ: كَانَ مُتَعَوِّذًا. فَماَ زَالَ يُكَرِّرُهاَ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh)?” Saya berkata: “Dia hanya cari-cari perlindungan.” Beliau tetap mengulangi pertanyaannya, sampai saya berharap seandainya saya belum masuk Islam sebelum kejadian itu.” (Bukhori dan Muslim dari Usamah bin Zaid rodhiyallohu 'anhuma).
Lihat pula bagaimana para teladan kita, para sahabat Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam menyikapi kerabat mereka sendiri yang menyimpang dari tuntunan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam dalam satu permasalahan yang sebagian kita mungkin menganggapnya masalah furu’. Inilah Ibnu ‘Umar rodhiyallohu 'anhuma. Al-Imam Muslim rohimahulloh meriwayatkan dalam Shohihnya:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ تَمْنَعُوْا نِساَءَكُمُ الْمَساَجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهاَ. قاَلَ: فَقَالَ بِلاَلُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ: وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ. قاَلَ: فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئاً ماَ سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقاَلَ: أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُوْلُ وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ؟
Bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar rodhiyallohu 'anhuma berkata: “Saya mendengar Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kamu melarang wanita (isteri) kalian ke masjid jika mereka minta izin kalian untuk ke sana.’ Tiba-tiba berkatalah Bilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar: ‘Demi Alloh. Sungguh kami pasti melarang mereka.’ Kata rawi: Maka ‘Abdulloh menoleh kepadanya dan mencercanya dengan cercaan yang sangat buruk yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Kemudian dia berkata: ‘Aku sampaikan kepadamu hadits dari Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam tapi kamu justeru mengatakan: Demi Alloh, sungguh kami pasti melarang mereka?”
Demikianlah sebagian sikap tegas para salafus sholih terhadap orang-orang yang melecehkan Sunnah Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam meskipun itu muncul dari kerabat mereka sendiri. Inilah salah satu bukti pelaksanaan perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
لاَ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ يُوآدُّوْنَ مَنْ حآدَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوا آبآءَهُمْ أَوْ أَبْنآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan RosulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..” (QS.Al-Mujadilah: 22)
Maka semakin jelaslah bagi kita kritik (Tadzir) yang dilancarkan Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap berbagai pola pikir yang menyimpang yang berkembang di tengah-tengah kaum muslimin bukanlah tanpa dasar. Semua ini adalah sebagai bukti kecintaan mereka terhadap saudara mereka sesama muslim. Mereka ingin diri mereka sendiri selamat dari murka Alloh Subhanahu wa Ta'ala, maka merekapun ingin saudara mereka selamat.
Semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufik kepada kita untuk kembali kepada jalan kebenaran. Wallohu a’lam bish showab.
Salah satu prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah para pengikut salaf ialah dakwah (mengajak) kepada As-Sunnah An-Nabawiyyah. Ini adalah landasan utama persatuan dan kesatuan serta sebab bersatunya kaum muslimin. Bahkan sebagai perlindungan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
As Sunnah adalah asas persatuan, dan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam adalah teladan dalam (menjalankan) agama ini. Demikian pula para sahabatnya rodhiyallohu 'anhum. Adalah Al-Haq (kebenaran) dan hidayah serta bimbingan senantiasa ada di dalam meneladani mereka, Mereka tidak akan bersatu (sepakat) di atas kebatilan. Berbeda dengan orang-orang selain mereka, dari berbagai kelompok-kelompok yang ada, karena mereka justru bersatu di atas kebatilan dan kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh telah menerangkan :
“Tidak boleh ada pembelaan (wala) terhadap tokoh tertentu secara umum dan mutlak kecuali hanya kepada Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam. Tidak pula kepada kelompok tertentu kecuali kepada para sahabat rodhiyallohu 'anhum. Karena sesungguhnya Al-Huda senantiasa ada bersama Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam di manapun beliau berada. Begitu pula para sahabatnya.” (Minhajus Sunnah, 5/261).
Adalah nash (dalil) syariat telah menerangkan anjuran dan dorongan untuk mengikuti prinsip mulia ini. Prinsip yang menjadi tolak ukur persatuan dan kesepakatan di atas As-Sunnah dan jalan yang terang. Sehingga, tidak ada hujjah melainkan milik orang yang menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, dan tidak ada ‘ishmah (keterjagaan) dari penyimpangan kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan As-Sunnah dalam ilmu, amal, pendalilan dan pemahaman serta ittiba’.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rohmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (QS.Al-Ahzab: 21).
Uswah artinya teladan. Tidak ada teladan (yang baik) kecuali Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam. Tidak ada ittiba’ kecuali (kepada) beliau, dan tidak ada keselamatan kecuali berjalan di atas jalan yang dilalui beliau.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Ali ‘Imran: 31)
Sehingga pengakuan cinta seseorang belum bisa diterima hingga dia membuktikan yaitu dengan ittiba’ serta tetap berpegang dengan As-Sunnah.
Ibnul Qoyyim rohimahulloh menjelaskan :
“Ketika semakin banyak orang-orang yang mengaku cinta, mereka dituntut menunjukkan bukti nyata pengakuan cintanya itu... Maka Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي (Katakanlah: Jika kalian (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku) Akhirnya semua mundur, kecuali orang-orang yang mengikuti al-habib (Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam) dalam setiap ucapan, tindakan, dan akhlaknya.”
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.”( QS. An-Nuur : 54).
Dalam ayat ini dengan tegas dan sangat jelas Alloh Subhanahu wa Ta'ala menyatakan bahwa hidayah itu berkaitan langsung dengan ittiba’ kepada RosulNya. Dan tentunya, ghiwayah (kesesatan, penyelewengan) berkaitan langsung dengan penyimpangan dari Sunnah RosulNya.
Hal ini ditegaskan dalam hadits riwayat Al-Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallohu 'anhuma :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْناَهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُوْلُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتاَبُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam jika berkhutbah matanya memerah, suaranya meninggi, marahnya meningkat hingga seakan-akan beliau (sedang) mengomando satu pasukan perang. Beliau berkata: ‘Perhatikan esok pagi dan petang kalian!’”
Beliau berkata pula: ‘Kemudian sesudah itu (amma ba’du). Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabulloh (Al Qur`an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shollallohu 'alaihi wa sallam). Dan seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah sesat.”
Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوا بِهاَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ
“Aku wasiatkan kalian bertakwa kepada Alloh, mendengar dan taat, meskipun kepada seorang budak Habasyi. Sesungguhnya, siapa yang hidup dari kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa`ur rosyidin yang terbimbing. Peganglah dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan waspadailah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (Abu Dawud dari Al-‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallohu 'anhu).
Beliau Shollallohu 'alaihi wa sallam juga mengatakan :
ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
“Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah!” (Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu).
Dari sejumlah dalil ini jelaslah bagi kita tentang keagungan As Sunnah dan kewajiban mengikuti As Sunnah. Adanya keselamatan bagi orang yang menempuh jalan yang digariskannya dan menjauhi hal-hal yang menyelisihinya. Pengertian seperti ini telah dipahami oleh para sahabat Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang meneladani mereka. Mereka senantiasa menyampaikan hadits tentang anjuran berpegang dengan tuntunan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam, mentahdzir (menjelaskan akan bahaya) bid’ah, mentahdzir orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, dan orang-orang yang berpegang kepada royu (pendapat atau akal semata).
Adalah sikap ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu 'anhu ketika dia berkata:
“Hati-hatilah dan jauhilah oleh kalian orang-orang yang menggunakan ro`yunya. Karena sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh As-Sunnah. Mereka dilemahkan oleh hadits-hadits, hingga tidak mampu menghafalnya. Akhirnya mereka berbicara dengan ro`yu mereka, maka mereka tersesat dan menyesatkan (orang lain).” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni rohimahulloh dalam Sunan dan Al-Lalikai rohimahulloh dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah).
Sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud rodhiyallohu 'anhu juga mengatakan :
“Ikutilah (Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam) dan jangan membuat bid’ah. Sesungguhnya kalian telah dicukupi (dalam masalah agama ini). Dan setiap bid’ah itu sesat.” (Al-Ibanah, 1/327).
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rohimahulloh berkata :
“As Sunnah ialah yang telah digariskan oleh orang yang tahu bahwa menyelisihinya adalah penyimpangan. Mereka lebih mampu untuk berdebat daripada kalian.” (Al-Ibanah)..
Jelaslah bagi kita bagaimana manhaj salaful ummah dalam ilmu, amal, dan dakwah. Yaitu senantiasa berpegang teguh kepada As Sunnah, mengikuti jalannya, dan mengajak manusia kepadanya serta mentahdzir agar menjauhi orang-orang yang menyelisihinya.
Agama Islam adalah (ajaran agama yang berisi) perintah dan larangan. Perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari semua kejahatan. Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهاَ فِيْ أَوَّلِهاَ وَسَيُصِيْبُ آخِرَهاَ بَلاَءٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهاَ
“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabipun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari…”(Ahmad dan Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-’Ash rodhiyallohu 'anhuma).
Jadi, dakwah (Islam) ini sempurna meliputi berbagai segi kehidupan. Dimulai dari yang paling utama (tauhid) kemudian yang berikutnya. Namun demikian, bukan berarti dakwah kepada tauhid harus menutup mata terhadap hal-hal lain yang terkait dengannya, yang merupakan syarat sempurnanya tujuan dakwah.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rohimahulloh berkata :
“Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala memberikan hidayah kepada kita semua menuju urusan agama kita yang lurus, bahwa perkara yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala perintahkan dan RosulNya Shollallohu 'alaihi wa sallam dakwahkan dan umatnya termasuk di dalamnya, mempunyai dua landasan utama, yang tidak mungkin lepas salah satu dari yang lainnya. Keduanya ialah:
a. Perintah beribadah hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan dorongan terhadap hal ini adalah mempunyai sikap wala` yang didasari oleh perkara ini, sekaligus mengatakan kafirnya orang-orang yang meninggalkan perkara ini.
b. Peringatan tentang bahaya syirik dalam beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, bersikap tegas dalam perkara ini dan menunjukkan sikap permusuhan yang didasari kebencian terhadap masalah (syirik) ini serta menyatakan kafirnya orang-orang yang melakukannya.
Inilah dakwah at tauhid adalah dakwah yang menyeru untuk berlepas diri dari semua bentuk kesyirikan dan bid’ah serta para pelakunya.
Sesungguhnya siapapun yang mempelajari Kitabulloh dan Sunnah Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam, tentu melihat bahwa agama ini dibangun di atas dua landasan utama ini, yaitu ta`shil dan tahdzir.
Ta`shil yakni membentuk prinsip pokok tentang kebenaran (al-haq) sekaligus menerangkannya. Adapun tahdzir, yaitu memperingatkan manusia agar menjauhi berbagai bentuk kebatilan. Sebagaimana perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهاَ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS.Al-Baqoroh: 256)
Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan bahwa tidaklah seseorang menjadi muslim (sejati, baca salafi sejati) yang berjalan di atas kemuliaan dan jalan yang lurus sampai dia menghimpun kedua prinsip dasar ini. Yaitu mengingkari atau menentang terhadap berbagai bentuk kebatilan dan semua yang diibadahi selain Alloh Subhanahu wa Ta'ala, sekaligus beriman hanya kepada Alloh satu-satunya, tidak ada sekutu bagiNya, baik dalam uluhiyah (peribadatan), rububiyah (perbuatan-perbuatan Alloh Subhanahu wa Ta'ala), maupun dalam masalah asma‘ wa shifat (nama dan sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta'ala).
Bahkan, seseorang tidak pula akan dikatakan sebagai muttabi’ (pengikut) Sunnah hingga dia menambahkan adanya sikap hajr (meninggalkan) dan tahdzir (memperingatkan bahaya) bid’ah dan ahli bid’ah serta membenci mereka.
Jadi, tahdzir dari orang-orang yang mempunyai penyakit zaigh (cenderung kepada kesesatan), bid’ah, dan hawa nafsu adalah salah satu prinsip dasar dari ushul (prinsip pokok) ajaran Islam. Dan ini adalah sebagai bentuk pemeliharaan bagi kemurnian syariat dan membentengi aqidah kaum muslimin dari kerusakan.
Ini sesungguhnya telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آياَتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang berkecimpung dalam ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzolim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS.Al-An’am: 68).
Al-Imam Asy Syaukani rohimahulloh dalam Fathul Qodir (2/122) menerangkan :
“Di dalam ayat ini terkandung nasehat dan peringatan besar bagi mereka yang membolehkan duduk bermajelis dengan ahli bid’ah, (yaitu) orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala, mempermainkan Kitab-Nya dan sunnah RosulNya, serta mengembalikannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika dia tidak (mampu) mengingkari atau mengubah keyakinan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka. Dan ini tentu lebih mudah.”
Kemudian Alloh Subhanahu wa Ta'ala mengatakan :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتاَبِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آياَتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهاَ وَيُسْتَهْزَأُ بِهاَ فَلاَ تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Alloh telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Alloh diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu termasuk mereka.” (QS.An-Nisa`: 140).
Al-Imam Al-Qurthubi rohimahulloh dalam Tafsir beliau (5/418) menerangkan makna dari ayat ini :
“Ayat ini menegaskan wajibnya menjauhi para pelaku maksiat, apabila terlihat kemungkaran yang mereka kerjakan. Sebab, orang yang tidak mau menjauhi mereka berarti dia ridho (senang) dengan perbuatan maksiat itu. Sedangkan ridho kepada kekafiran berarti kafir. Sebagaimana perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala ini: إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ {Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu termasuk mereka}. Maka siapapun yang duduk bersama pelaku maksiat dan tidak mengingkari mereka, dosa mereka sama....dan apabila dia tidak mampu mengingkarinya, hendaklah dia pergi meninggalkan majelis tersebut agar tidak tergolong orang-orang yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini. Dan apabila telah jelas keharusan menjauhi pelaku maksiat, maka menjauhi pelaku bid’ah itu jelas lebih diutamakan...”
Adalah perkataan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rohimahulloh dari ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu:
لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ
“(Semoga) Alloh melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. (Semoga) Alloh melaknat orang yang menyembelih untuk sesuatu selain Alloh. Dan (semoga) Alloh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Dan (semoga) Alloh melaknat orang yang merubah batas tanah.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrohman bin Hasan Alusy Syaikh rohimahulloh menukil perkataan Ibnul Atsir, mengatakan:
“Kalau huruf dal dibaca dengan kasrah (مُحْدِثاً), artinya pelaku kejahatan (jaani), kalau dibaca fathah (مُحْدَثاً), artinya adalah perkara yang diada-adakan. Sehingga maknanya dalam bentuk pertama, melindungi dan membela pelaku kejahatan itu dari lawan yang menuntutnya. Adapun dalam bentuk kedua ini artinya ialah ridho dan bersabar menjalankannya. Karena sesungguhnya kalau seseorang ridho terhadap suatu bid’ah, menyetujui pelakunya dan tidak mengingkari, berarti dia telah melindungi dan membelanya.” (Fathul Majid hal. 175-176).
Dan kita tahu, bahwa bid’ah itu jauh lebih berbahaya daripada maksiat. Karena seorang pelaku maksiat, ada kemungkinan mudah untuk bertaubat. Bahkan terkadang, mereka melakukannya sembunyi-sembunyi karena tahu yang dikerjakannya itu salah dan dosa. Sedangkan pelaku bid’ah, sangat sulit diharapkan bertaubat, sebab mereka merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya itu benar dan merupakan ajaran agama.
Oleh karena itulah Sufyan Ats-Tsauri rohimahulloh mengatakan bahwa bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat.
Dari sini, maka tidaklah pantas pula bagi seorang muslim yang beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan hari kemudian, untuk menjadikan jumlah mayoritas sebagai ukuran suatu kebenaran. Karena al-haq itu tidaklah dinilai dari banyak sedikitnya pengikut. Akan tetapi al-haq dinilai dan dikenal dari dalil-dalil syariat, ayat-ayat Al-Qur‘an, dan As-Sunnah.
Perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh.” (Al-An’am: 116).
Al-Wala`wa Al-Baro`
Setiap mukmin adalah wali Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan mereka adalah wali bagi mukmin lainnya. Sedangkan orang-orang kafir adalah musuh Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan musuh orang-orang yang beriman.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan agar kaum mukminin berwala` kepada sesama mukminin. Alloh Subhanahu wa Ta'ala tegaskan pula bahwa sikap wala` ini merupakan konsekuensi dari keimanan. Bahkan dia merupakan bagian dari makna kalimat syahadat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh).
Inilah ajaran (millah) Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan orang-orang yang bersama beliau. Alloh Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan kita untuk mengikuti ajaran tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْناَ بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَناَ وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Alloh, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Alloh saja’.” (QS.Al-Mumtahanah: 4).
Memang, ayat ini adalah anjuran untuk bara` (benci) terhadap orang-orang kafir, tetapi makna atau hukumnya berlaku umum. Artinya dapat pula diterapkan kepada orang-orang yang fajir (jahat, durhaka) dan ahli bid’ah. Oleh sebab itu para pendahulu kita yang sholih dari kalangan sahabat terang-terangan menampakkan sikap baro` mereka terhadap bid’ah dan ahlinya. Sebagaimana kita maklumi hal ini dari sikap Ibnu ‘Umar rodhiyallohu 'anhuma yang mengatakan: “Sampaikan kepada mereka (orang-orang Qadari(Yang menolak adanya takdir dan berkeyakinan bahwa semua kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Wallohu a’lam.), bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.” Beliau ucapkan tiga kali. (Muslim dalam Shohihnya, Al-Lalikai rohimahulloh dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 2/588).
Prinsip ini (al-wala‘ wal baro‘) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang merasakan manisnya iman. Hal ini ditegaskan oleh Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam:
ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْماَنِ مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُماَ وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَماَ يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ
“Tiga hal yang apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) seseorang yang Alloh dan RosulNya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Alloh. Dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Alloh menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh menerangkan :
“...perlu diketahui bahwa seorang mukmin wajib kamu cintai meskipun dia mendzolimi kamu. Dan orang kafir harus kamu benci meskipun dia berbuat baik dan memberikan sesuatu kepadamu. Karena sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RosulNya dan menurunkan Kitab-kitab-Nya agar agama (ibadah) ini seluruhnya hanya diserahkan kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, sehingga cinta kepada wali-waliNya dan membenci musuh-musuhNya...
Kemudian, apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, kedurhakaan dan ketaatan, sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan wala` sebatas kebaikan yang ada padanya dan berhak menerima baro` (kebencian) dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang ada padanya. Seperti seseorang yang mencuri, harus dipotong tangannya sebagai hukuman, namun juga dia tetap disantuni dengan menerima bagian dari baitul mal (kas negara) untuk mencukupi kebutuhannya. Dan inilah salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berbeda dengan orang-orang Khawarij, Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka.” (Majmu’ Fatawa (28/209).
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Salah satu perkara yang harus ditunaikan dalam prinsip Al-Wala` wal Bara` ialah amar ma’ruf nahi munkar sebagai salah prinsip yang utama dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu wasilah utama yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala perintahkan. Bahkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala menjadikannya sebagai ciri khas dari dakwah para Nabi dan Rosul 'alaihimussalam dan sebagai tanda bagi hamba-hambaNya yang beriman.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْساَنِ وَإِيْتآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS.An-Nahl: 90)
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata tentang sifat NabiNya Shollallohu 'alaihi wa sallam:
الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْباً عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهاَهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّباَتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَباَئِثَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rosul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharomkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS.Al-A’raf: 157).
Ayat ini menerangkan kesempurnaan risalah Nabi Muhammad Shollallohu 'alaihi wa sallam. Karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan semua kebaikan dan melarang semua kemungkaran melalui lisan beliau, menghalalkan yang baik dan mengharomkan yang keji.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mensifati umat ini sesuai dengan sifat NabiNya, sebagaimana perkatanNya:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Alloh..” (QS.Ali ‘Imron: 110).
Dan perkataanNya:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِناَتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (QS.At-Taubah: 71)
Dalam ayat ini, Alloh Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa umat ini adalah umat terbaik, paling bermanfaat dan paling besar kebaikannya kepada sesama manusia, karena mereka menyempurnakan urusan (kehidupan) manusia dengan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mereka telah menjalankannya secara sempurna, bahkan menegakkannya dengan jihad di jalan Alloh dengan jiwa dan harta mereka. (Majmu’ Fatawa, 28/123).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh mengatakan :
“Menganjurkan manusia agar berpegang dan mengikuti As Sunnah serta mencegah jangan sampai bid’ah muncul dan tersebar adalah amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini merupakan amalan sholih yang paling mulia, sehingga seharusnya betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlasan mengharapkan wajah Alloh Subhanahu wa Ta'ala.”(Minhajus Sunnah, 5/253).
Termasuk amar ma’ruf nahi munkar adalah kritik terhadap berbagai kesalahan atau penyimpangan dan menjelaskannya kepada manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh menyatakan:
“Dai yang mengajak kepada satu bid’ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum muslimin. Hukuman itu kadang berupa hukuman mati atau yang lebih ringan, sebagaimana para salafus sholih membunuh Jahm bin Shifwan, Ja’d bin Dirham, Ghoilan Al-Qodari, dan lain-lain(Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu 'anhu telah menghukum Shobigh At-Tamimi yang menanyakan hal-hal mutasyabihat dari Al Qur`an. Beliau memukul kepala Shobigh hingga bercucuran darah, kemudian memerintahkan kaum muslimin menjauhinya selama satu tahun). Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid’ahannya dan mentahdzir manusia supaya menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan RosulNya.”(Majmu’ Fatawa 35/414.
Oleh karena inilah menjadi wajib untuk menerangkan perihal orang-orang yang keliru dalam hadits atau periwayatan, dalam hal pemikiran ataupun fatwa. Bahkan juga mereka yang salah dalam masalah zuhud dan ibadah. (Majmu’ Al-Fatawa (28/234).
Adapun dalil dalam masalah ini ialah dalil-dalil yang berkaitan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga tidak selayaknya bagi setiap individu kaum muslimin untuk merasa sesak dan sempit dadanya (menerima) kritikan atau sejenisnya. Karena hal ini adalah bagian dari pelaksanaan sikap adil yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala perintahkan kepada kita, sebagaimana dalam perkataanNya:
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدآءَ ِللهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيْرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِماَ فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوْا وَإِنْ تَلْوُوْا أَوْ تُعْرِضُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِماَ تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjaan.” (QS.An-Nisa`: 135)
Al-Layy (memutar balikkan kata-kata) sama dengan dusta, sedangkan i’rodh (enggan menjadi saksi) sama dengan kitman (menyembunyikan kesaksian), demikian diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh.
Lantas bagaimana mungkin dibenarkan bagi seorang mukmin pengakuannya (dia beriman) jika diiringi sikap kitman, berlindung di balik kepalsuan dan keduataan? Apalagi dikatakan oleh Abu ‘Ali Ad-Daqqoq rohimahulloh bahwa orang yang diam terhadap suatu kemungkaran, adalah syaithon yang bisu. Dan orang yang berbicara dengan suatu kebatilan adalah syaithon nathiq (syaithon yang pandai bicara).(Sittud Duror hal. 109).
Tentunya, tidak diragukan lagi, ghiroh (kecemburuan) yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala letakkan di dalam hati seorang mukmin terhadap apa yang diharomkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala inilah yang sebenarnya menjadi motivasi baginya untuk menjalankan kewajibannya ini. Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :
إِنَّ اللهَ يَغاَرُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغاَرُ وَغَيْرَةُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ ماَ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta'ala mempunyai sifat cemburu. Dan seorang mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Alloh Subhanahu wa Ta'ala adalah ketika seorang mukmin melanggar apa yang diharomkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.” (Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)
Sehingga, jika setiap kali seorang mukmin yang ingin memperbaiki satu kekeliruan atau meluruskan suatu penyimpangan dicegah, dengan dalih bukan saatnya, lantas sampai kapan orang yang diperingatkan tersebut menyadari kesalahannya dan sampai kapan orang yang sakit itu akan sembuh?
Bahkan, bukanlah merupakan bentuk wala` terhadap kaum mukminin, kalau seseorang membantu saudaranya dalam kebatilan, padahal saudaranya itu membutuhkan teguran secara syar’i. Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu meriwayatkan dari Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam :
انْصُرْ أَخاَكَ ظَالِماً أَوْ مَظْلُوْماً. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْماً، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِماً؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
“Tolonglah saudaramu yang dzolim atau yang didzolimi (teraniaya).” Para shahabat bertanya: “Wahai Rosululloh. Kami jelas akan menolong yang didzolimi, lalu bagaimana kami menolong saudara kami yang dzolim?” Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: “Yakni kamu tahan tangannya agar tidak berbuat dzolim.” (Bukhori)
Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam menerangkan pula bagaimana pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:
مَثَلُ الْقاَئِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهاً كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ فَأَصاَبَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهاَ وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهاَ فَكَانَ الَّذِيْنَ فِي أَسْفَلِهاَ إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْماَءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوْا: لَوْ أَنَّا خَرَقْناَ فِيْ نَصِيْبِناَ خَرْقاً وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَناَ. فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَماَ أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعاً
“Perumpamaan orang yang menjaga batas-batas hukum yang ditetapkan Alloh dan orang yang terjerumus ke dalamnya adalah seperti suatu kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian ada yang di sebelah atas, yang lain di bawah. Kemudian yang berada di bawah, apabila ingin minum melintasi orang-orang yang ada di atas mereka. Maka mereka (yang di bawah ini) berkata: ‘Kalau kita lubangi bagian kita di dasar (kapal) ini, tentulah kita tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita.’
Maka seandainya orang-orang yang di atas membiarkan orang-orang yang di bawah melakukan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka akan binasa (tenggelam) semuanya. Namun kalau mereka (yang di atas) menahan (mencegah) orang-orang yang berada di bawah mereka, maka mereka selamat dan selamatlah semuanya.” (Bukhori dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir rodhiyallohu 'anhu)
Dalam hadits ini menegaskan kepada kita bahwa bahaya yang terjadi seandainya inkarul munkar (mencegah, menghalangi kemungkaran) ditinggalkan bahkan bala’ tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi seluruh orang yang diam terhadap kemungkaran tersebut. Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan kita bahwa uqubah tidak hanya menimpa orang yang dzolim semata:
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خاَصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقاَبِ
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzolim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Alloh amat keras siksaanNya.” (QS.Al-Anfal: 25)
Oleh karena itu, menghadapi ahli bid’ah dan para pengekor hawa nafsu, menerangkan dan membongkar kebatilan mereka (juga tokoh-tokohnya) merupakan upaya perlindungan terhadap kaum muslimin, agar tidak dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh menerangkan bahwa musuh-musuh Alloh ada dua: dari kalangan kuffar (orang-orang kafir) dan munafikin. Dan tentunya menghadapi yang kedua ini lebih sulit.
Beliau mengatakan pula: “Apabila suatu kelompok bukan dari kalangan munafikin, namun suka mendengarkan perkataan orang-orang munafikin, telah kabur atas mereka urusan orang-orang munafikin tersebut. Sehingga dia mengira ucapan mereka adalah benar, padahal menyelisihi sunnah. Akhirnya mereka menjadi corong yang menyuarakan dan mengajak kepada bid’ah (yang dianut) orang-orang munafikin tadi. Hal ini sebagaimana perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
لَوْ خَرَجُوْا فِيْكُمْ ماَ زَادُوْكُمْ إِلاَّ خَباَلاً وَلأَوْضَعُوْا خِلاَلَكُمْ يَبْغُوْنَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُوْنَ لَهُمْ
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka..” (QS.At Taubah: 47)
Maka harus diterangkan keadaan orang-orang tersebut. Fitnah yang ditimbulkan mereka lebih hebat, karena pada diri mereka ada iman yang mendorong kita wajib bersikap loyal (wala`) kepada mereka. Sementara mereka telah terjerumus ke dalam bid’ah kaum munafikin yang merusak agama ini. Sehingga, mesti ada tahdzir dari bid’ah tersebut, meskipun hal itu mengharuskan penyebutan mereka dan ta’yin (menerangkan nama tokoh-tokohnya). Bahkan kalaupun mereka tidak mengambil bid’ah itu dari kaum munafikin, namun muncul dari pendapat sendiri yang mereka anggap bahwa hal itu adalah petunjuk, kebaikan bahkan merupakan agama, tetap wajib untuk menerangkan keadaan (kesesatan) mereka.”(Majmu’ Fatawa, 28/233).
Para ulama menganggap bahwa berjihad menghadapi orang-orang seperti ini lebih utama.
Yahya bin Yahya, guru Al-Imam Al-Bukhori dan Muslim rohimahumulloh, mengatakan: “Membela As-Sunnah lebih utama daripada jihad.”
Demikian pula Al-Humaidi, guru Al-Imam Al-Bukhori yang lain mengatakan: “Demi Allah, memerangi orang-orang ini (ahli bid’ah) yang menolak hadits Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam jauh lebih aku sukai daripada memerangi orang-orang kafir sebanyak mereka.”
Akan tetati, hendaknya diperhatikan dalam masalah ini. Yaitu perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجاَدِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).
Dan perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
اذْهَباَ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”(QS.Thoha: 43-44)
Juga sabda Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam dari hadits ‘Aisyah rodhiyallohu 'anha:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ
“Sesungguhnya kelemahlembutan itu, tidaklah dia berada pada sesuatu melainkan tentu menghiasinya.” (Muslim).
Jelas di sini betapa pentingnya sikap lemah lembut. Dan sebelum itu semua, yang utama adalah ilmu. Sehingga setiap orang yang mau menjalankan amar ma’ruf nahi munkar harus tahu mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Jangan sampai dia justru mengingkari sesuatu yang ternyata merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) atau sebaliknya. (Majmu’ Fatawa, 28/136)
Namun perlu juga kita pahami di sini, bahwa kelembutan bukan berarti kita harus diam terhadap kemungkaran dan kebid’ahan. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rohimahulloh menyatakan:
“Tidak diragukan bahwa syariat Islam ini adalah syariat yang sempurna, datang membawa tahdzir terhadap berbagai sikap ghuluw (melampaui batas) dalam urusan agama. Memerintahkan dakwah ke jalan yang haq dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debat dengan cara yang lebih baik. Akan tetapi ternyata syariat ini sama sekali tidak melupakan sikap keras dan tegas yang diletakkan pada tempatnya, di mana lemah lembut dan debat tidak lagi berguna. Sebagaimana perkatan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
يآ أَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka..” (QS.At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9)
Dan perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا قاَتِلُوا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً
“wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka mendapati sikap keras dalam diri kalian.” (QS.At-Taubah: 123)
Sikap keras ini, jika memang dibutuhkan harus dilaksanakan walaupun terhadap sesama muslim. Tidakkah kita lihat bagaimana Alloh Subhanahu wa Ta'ala membolehkan dalam masalah ini, sebagaimana perkataanNya:
وَإِنْ طَائِفَتاَنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُماَ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُماَ عَلَى اْلأُخْرَى فَقاَتِلُوْا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيْءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Alloh.” (QS.Al-Hujurot: 9)
Bahkan terkadang seorang mukmin akan lebih keras dan tegas mengingkari kemungkaran yang ada pada saudaranya daripada terhadap musuhnya (orang kafir). Kita lihat bagaimana lembutnya Nabiyullah Musa 'alaihissalam mengajak Fir’aun kepada tauhid, tetapi keras terhadap saudaranya Harun 'alaihissalam di mana Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata tentang hal itu:
وَأَلْقَى اْلأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيْهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ
“Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya.” (QS.Al-A’raf: 150)
Apakah ada orang yang membantah Nabi Musa 'alaihissalam dan menganggapnya tidak mempunyai sikap wala` terhadap saudaranya Nabi Harun 'alaihissalam, beliau berlemah lembut kepada musuhnya seorang thoghut besar, tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri?
Kita lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat terhadap sebagian para shahabatnya, bagaimana tegasnya beliau terhadap Usamah bin Zaid bin Haritsah rodhiyallohu 'anhuma, kesayangan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam putra kesayangan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan syahadat, dan beliau berkata kepadanya:
يَا أُسَامَةُ، أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ ماَ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؟ قُلْتُ: كَانَ مُتَعَوِّذًا. فَماَ زَالَ يُكَرِّرُهاَ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh)?” Saya berkata: “Dia hanya cari-cari perlindungan.” Beliau tetap mengulangi pertanyaannya, sampai saya berharap seandainya saya belum masuk Islam sebelum kejadian itu.” (Bukhori dan Muslim dari Usamah bin Zaid rodhiyallohu 'anhuma).
Lihat pula bagaimana para teladan kita, para sahabat Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam menyikapi kerabat mereka sendiri yang menyimpang dari tuntunan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam dalam satu permasalahan yang sebagian kita mungkin menganggapnya masalah furu’. Inilah Ibnu ‘Umar rodhiyallohu 'anhuma. Al-Imam Muslim rohimahulloh meriwayatkan dalam Shohihnya:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ تَمْنَعُوْا نِساَءَكُمُ الْمَساَجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهاَ. قاَلَ: فَقَالَ بِلاَلُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ: وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ. قاَلَ: فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئاً ماَ سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقاَلَ: أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُوْلُ وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ؟
Bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar rodhiyallohu 'anhuma berkata: “Saya mendengar Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kamu melarang wanita (isteri) kalian ke masjid jika mereka minta izin kalian untuk ke sana.’ Tiba-tiba berkatalah Bilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar: ‘Demi Alloh. Sungguh kami pasti melarang mereka.’ Kata rawi: Maka ‘Abdulloh menoleh kepadanya dan mencercanya dengan cercaan yang sangat buruk yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Kemudian dia berkata: ‘Aku sampaikan kepadamu hadits dari Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam tapi kamu justeru mengatakan: Demi Alloh, sungguh kami pasti melarang mereka?”
Demikianlah sebagian sikap tegas para salafus sholih terhadap orang-orang yang melecehkan Sunnah Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam meskipun itu muncul dari kerabat mereka sendiri. Inilah salah satu bukti pelaksanaan perkataan Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
لاَ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ يُوآدُّوْنَ مَنْ حآدَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوا آبآءَهُمْ أَوْ أَبْنآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan RosulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..” (QS.Al-Mujadilah: 22)
Maka semakin jelaslah bagi kita kritik (Tadzir) yang dilancarkan Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap berbagai pola pikir yang menyimpang yang berkembang di tengah-tengah kaum muslimin bukanlah tanpa dasar. Semua ini adalah sebagai bukti kecintaan mereka terhadap saudara mereka sesama muslim. Mereka ingin diri mereka sendiri selamat dari murka Alloh Subhanahu wa Ta'ala, maka merekapun ingin saudara mereka selamat.
Semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufik kepada kita untuk kembali kepada jalan kebenaran. Wallohu a’lam bish showab.
By Andre and Nisa
http://obat-penyejuk-hati.blogspot.com