بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi termulia, pemuka para rosul. Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Alloh dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya.
Artikel Tentang Nikmat yang disyukuri ataukah dikufuri..?
Artikel Tentang Nikmat yang disyukuri ataukah dikufuri..?
Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya akan lenyap.
Ibnu Qudamah rohimahullohu Ta'ala menjelaskan :
“Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk :
Pertama, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan.
Kedua, Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara.
Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,
Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya,]
Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki.
Adapun nikmat sebagai perantara menuju kebahagiaan melalui empat perkara :
Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.
Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
Ketiga: Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan” (Mukhtashor Minhajul Qoshidin hal. 282)
Besyukurkah kita dengan nikmat itu..?
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan : "bahwa syukur itu adalah nampaknya pengaruh nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas seorang hamba melalui
Lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya, melalui
hati dengan cara meyakininya dan mahabbah kepadanya, serta melalui
Anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan." (Madarijus Salikin, 2/244)
"Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintaiNya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmatNya". (Madarijus Salikin, 2/247).
Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui apa yang Dicintai Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Ibnu Qudamah rohimahullohu menjelaskan :
"Ketahuilah bahwa syukur tidaklah terwujud melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,
sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada apa yang dicintaiNya".
Makna Syukur
Syukur memiliki tiga makna :
Pertama : Mengetahui adalah hal itu sebuah nikmat. Artinya dia menghadirkan dalam benaknya, mempersaksikan, dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dalam benak sebagaimana terwujud dalam kenyataan. Sebab banyak orang yang jika engkau berbuat baik kepadanya namun dia tidak mengetahui (bahwa itu adalah perbuatan baik).
Kedua : Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuhnya kepadanya dan bahwa sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai suatu keharusan atau hak baginya dari Alloh Subhanahu wa Ta'ala, dan tanpa membelinya dengan suatu harga, Bahkan dia melihat dirinya di hadapan Alloh Subhanahu wa Ta’ala bagaikan seorang tamu yang tidak diundang.
Ketiga : Memuji yang memberi nikmat, Dalam hal ini ada dua bentuk, yaitu umum dan khusus.
Pujian yang bersifat umum adalah mensifati pemberi nikmat dengan kedermawanan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya.
Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut.
Sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11) (Madarijus Salikin, 2/247-248).
Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori syukur.
Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :
مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia tidak diberi, sama halnya dengan orang yang memakai dua baju kedustaan.” ( Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin Abdullah rodhiyallohu 'anhuma).
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Robbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11).
Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Pertama : Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain seperti dengan ucapan: “Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku nikmat demikian dan demikian.”
Kedua : Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan risalahNya dan mengajarkan umat.
Ibnul Qoyyim rohimahullohu dalam Madarijus Salikin (2/249) mengatakan : “Yang benar, ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud kesyukuran.”
Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkan:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Alloh. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir) (Madarijus Salikin, 2/248).
Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?
Ibnu Qudamah rohimahullohu menjelaskan :
Syukur bisa dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan ;
Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikannya dari orang lain.
Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Alloh Subhanahu wa Ta'ala artinya, menampakkan keridhoan kepada Alloh 'Azza wa Jalla. Dan hal ini sangat dituntut,
Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam:
التَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ
‘Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalah wujud kekufuran.’
Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala tersebut dalam ketaatan kepadaNya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya.
Termasuk kesyukuran terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara menutup setiap aib yang dilihat pada seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas nikmat kedua telinga adalah menutup setiap aib yang didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.” (Mukhtashor Minhajul Qoshidin hal. 277).
Ibnul Qoyyim rohimahullohu menjelaskan :
“Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dengan tunduk dan kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan oleh anggota badan dengan ketaatan dan penerimaan.” (Madarijus Salikin, 2/246).
Derajat Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai.
Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam, seperti Yahudi dan Nasrani, bahkan Majusi. Akan tetapi Ibnul Qoyyim rohimahullohu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan di antara hakikat syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu dalam ketaatan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan mencari ridhoNya, niscaya engkau akan mengetahui bahwa kaum musliminlah yang pantas menyandang derajat syukur ini.
‘Aisyah rodhiyallohu 'anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah rodhiyallohu 'anhu :
‘Sesungguhnya tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat kepada-Nya’.” (Madarijus Salikin, 2/253)
Kedua: Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai.
Orang yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikapnya sama dalam semua keadaan, sebagai bukti keridhoannya.
Ibnul Qoyyim rohimahullohu menjelaskan :
“Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah, syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh salah satu dari dua jenis orang :
Seseorang yang semua keadaannya sama artinya, sikapnya sama terhadap yang disukai dan tidak disukai, dan dia bersyukur atas semuanya sebagai bukti keridhoan dirinya terhadap apa yang terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan ridho.
Seseorang yang bisa membedakan keadaannya, dia tidak menyukai sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak ridho bila menimpanya. Namun bila sesuatu yang tidak menyenangkan menimpanya, dia tetap mensyukurinya. Kesyukurannya (dia jadikan) sebagai pemadam kemarahannya, sebagai penutup dari berkeluh kesah, dan demi menjaga adab serta menempuh jalan ilmu. Karena sesungguhnya adab dan ilmu akan membimbing seseorang untuk bersyukur di waktu senang maupun susah. Tentunya yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254).
Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberinya kenikmatan, artinya, bila dia melihat yang memberinya kenikmatan dalam rangka ibadah, dia akan menganggap besar nikmat tersebut dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan karena rasa cinta, niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.
Nah apakah kita termasuk hamba yang bersyukur atas nikmat Alloh atau sebaliknya…?
Ibnu Qudamah rohimahullohu Ta'ala menjelaskan :
“Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk :
Pertama, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan.
Kedua, Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara.
Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,
Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya,]
Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki.
Adapun nikmat sebagai perantara menuju kebahagiaan melalui empat perkara :
Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.
Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
Ketiga: Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan” (Mukhtashor Minhajul Qoshidin hal. 282)
Besyukurkah kita dengan nikmat itu..?
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan : "bahwa syukur itu adalah nampaknya pengaruh nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas seorang hamba melalui
Lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya, melalui
hati dengan cara meyakininya dan mahabbah kepadanya, serta melalui
Anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan." (Madarijus Salikin, 2/244)
"Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintaiNya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmatNya". (Madarijus Salikin, 2/247).
Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui apa yang Dicintai Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Ibnu Qudamah rohimahullohu menjelaskan :
"Ketahuilah bahwa syukur tidaklah terwujud melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,
sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada apa yang dicintaiNya".
Makna Syukur
Syukur memiliki tiga makna :
Pertama : Mengetahui adalah hal itu sebuah nikmat. Artinya dia menghadirkan dalam benaknya, mempersaksikan, dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dalam benak sebagaimana terwujud dalam kenyataan. Sebab banyak orang yang jika engkau berbuat baik kepadanya namun dia tidak mengetahui (bahwa itu adalah perbuatan baik).
Kedua : Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuhnya kepadanya dan bahwa sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai suatu keharusan atau hak baginya dari Alloh Subhanahu wa Ta'ala, dan tanpa membelinya dengan suatu harga, Bahkan dia melihat dirinya di hadapan Alloh Subhanahu wa Ta’ala bagaikan seorang tamu yang tidak diundang.
Ketiga : Memuji yang memberi nikmat, Dalam hal ini ada dua bentuk, yaitu umum dan khusus.
Pujian yang bersifat umum adalah mensifati pemberi nikmat dengan kedermawanan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya.
Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut.
Sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11) (Madarijus Salikin, 2/247-248).
Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori syukur.
Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :
مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia tidak diberi, sama halnya dengan orang yang memakai dua baju kedustaan.” ( Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin Abdullah rodhiyallohu 'anhuma).
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Robbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11).
Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Pertama : Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain seperti dengan ucapan: “Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku nikmat demikian dan demikian.”
Kedua : Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan risalahNya dan mengajarkan umat.
Ibnul Qoyyim rohimahullohu dalam Madarijus Salikin (2/249) mengatakan : “Yang benar, ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud kesyukuran.”
Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkan:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Alloh. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir) (Madarijus Salikin, 2/248).
Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?
Ibnu Qudamah rohimahullohu menjelaskan :
Syukur bisa dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan ;
Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikannya dari orang lain.
Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Alloh Subhanahu wa Ta'ala artinya, menampakkan keridhoan kepada Alloh 'Azza wa Jalla. Dan hal ini sangat dituntut,
Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam:
التَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ
‘Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalah wujud kekufuran.’
Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala tersebut dalam ketaatan kepadaNya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya.
Termasuk kesyukuran terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara menutup setiap aib yang dilihat pada seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas nikmat kedua telinga adalah menutup setiap aib yang didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.” (Mukhtashor Minhajul Qoshidin hal. 277).
Ibnul Qoyyim rohimahullohu menjelaskan :
“Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dengan tunduk dan kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan oleh anggota badan dengan ketaatan dan penerimaan.” (Madarijus Salikin, 2/246).
Derajat Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai.
Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam, seperti Yahudi dan Nasrani, bahkan Majusi. Akan tetapi Ibnul Qoyyim rohimahullohu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan di antara hakikat syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu dalam ketaatan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan mencari ridhoNya, niscaya engkau akan mengetahui bahwa kaum musliminlah yang pantas menyandang derajat syukur ini.
‘Aisyah rodhiyallohu 'anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah rodhiyallohu 'anhu :
‘Sesungguhnya tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat kepada-Nya’.” (Madarijus Salikin, 2/253)
Kedua: Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai.
Orang yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikapnya sama dalam semua keadaan, sebagai bukti keridhoannya.
Ibnul Qoyyim rohimahullohu menjelaskan :
“Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah, syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh salah satu dari dua jenis orang :
Seseorang yang semua keadaannya sama artinya, sikapnya sama terhadap yang disukai dan tidak disukai, dan dia bersyukur atas semuanya sebagai bukti keridhoan dirinya terhadap apa yang terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan ridho.
Seseorang yang bisa membedakan keadaannya, dia tidak menyukai sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak ridho bila menimpanya. Namun bila sesuatu yang tidak menyenangkan menimpanya, dia tetap mensyukurinya. Kesyukurannya (dia jadikan) sebagai pemadam kemarahannya, sebagai penutup dari berkeluh kesah, dan demi menjaga adab serta menempuh jalan ilmu. Karena sesungguhnya adab dan ilmu akan membimbing seseorang untuk bersyukur di waktu senang maupun susah. Tentunya yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254).
Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberinya kenikmatan, artinya, bila dia melihat yang memberinya kenikmatan dalam rangka ibadah, dia akan menganggap besar nikmat tersebut dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan karena rasa cinta, niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.
Nah apakah kita termasuk hamba yang bersyukur atas nikmat Alloh atau sebaliknya…?
By Andre and Nisa
http://obat-penyejuk-hati.blogspot.com