Tanggung Jawab Bila Telah Menikah

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
http://obat-penyejuk-hati.blogspot.com

Artikel : Tanggung Jawab Bila Telah Menikah
Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi termulia, pemuka para rosul. Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Alloh dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya.

Artikel Tentang Tanggung Jawab Bila Telah Menikah
http://obat-penyejuk-hati.blogspot.com


Rumahku adalah surgaku begitulah.. menjadi suatu dambaan. Namun untuk mencapainya bukan persoalan mudah. Butuh banyak hal terutama dari sisi ilmu agama. Sesuatu yang mesti dimiliki seorang istri, terlebih lagi sang suami.

Menikah berarti menjalani hidup baru, banyak hal yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan bijaksana, baik yang berkaitan dengan hubungan suami istri, pendidikan anak, masyarakat, dan lain sebagainya.

Maka, tidaklah salah bila menikah butuh ilmu syar‘i, baik pihak istri, terlebih lagi pihak suami sebagai qowwam (pemimpin). Karena tidak akan tegak segala urusan dan akan lurus jalan kehidupan melainkan dengan ilmu. Akan tetapi sangat disayangkan, hal ini sering luput dan terabaikan, baik sebelum menikah lebih-lebih lagi setelah menikah.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berkata :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ

“Laki-laki (suami) adalah qowwam (pemimipin) bagi wanita (istri).” (QS.An-Nisaa’: 34).

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala telah berkata :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”(QS.At-Tahrim: 6).

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepadaNya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di wajibkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat segera dinasehati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 28/166, Ruhul Ma‘ani, 28/156).

Al Alamah Asy-Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir As-Sa`di rohimahullohu berkata: “Menjaga jiwa dari api neraka bisa dilakukan dengan mengharuskan jiwa tersebut untuk berpegang dengan perintah Alloh Ta'ala, melaksanakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan bertaubat dari perkara yang mendatangkan murka dan adzabNya. Di samping itu, menjaga istri dan anak-anak dilakukan dengan cara mendidik dan mengajari mereka, serta memaksa mereka untuk taat kepada perintah Alloh Ta'ala. Seorang hamba tidak akan selamat kecuali bila ia menegakkan perkara Alloh Ta'ala pada dirinya dan pada orang-orang yang berada di bawah perwaliannya seperti istri, anak-anak, dan selain mereka.” (Taisirul Karimir Rohman fii tafsiri kalamil mannan, hal. 874).

Ayat ini menunjukkan wajibnya suami mengajari anak-anak dan istri tentang perkara agama,kebaikan serta adab.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berkata kepada NabiNya Shollallohu 'alaihi wa sallam :

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan sholat dan bersabarlah dalam menegakkannya.” (QS.Thoha: 132).

Ini menunjukkan keluarga yang paling dekat dibanding yang lain dalam hal nasehat dan tarbiyah untuk taat kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. (Ahkamul Qur’an, 3/697).

Malik Ibnul Huwairits rodhiyallohu 'anhu mengabarkan :

“Kami mendatangi Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Lalu kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shollallohu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang merekakeluar dari lisan kami. kemudian beliau Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :

“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (Bukhori no. 628 dan Muslim no. 674).

Dalam hadits di atas, Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para shahabatnya untuk memberikan taklim kepada keluarga dan menyampaikan kepada mereka ilmu yang didapatkan.

Dapat dipahami bahwa seorang suami atau kepala rumah tangga harus memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik anak istrinya, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan mereka dari penyimpangan.

Akan tetapi sangat disayangkan, kenyataan yang kita lihat banyak suami melalaikan hal ini, mereka sibuk untuk mencukupi kebutuhan materi keluarganya sehingga mereka tenggelam dalam perlombaan mengejar dunia, sementara pendidikan agama pada diri mereka sendiri dan keluarga mereka yang sejatinya merupakan sebab teraihnya kebahagiaan hakiki dan sebab terselamatkannya mereka dan keluarganya dari siksa Alloh Ta'ala yang pedih terabaikan bahkan tidak diperhitungkan. - wal 'iyyadzubillah-Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan dunia, permainan, menumpuk-numpuk harta, ironisnya mereka tidak mengerti tentang agama.

Dari Abdulloh Ibnu Umar rodhiyallohu 'anhuma, beliau berkata : aku mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa salam berkata :

كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته، الإمام راع ومسؤول عن رعيته، والرجل راع في أهله و مسؤول عن رعيته

" Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya, seorang imam adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya, seorang suami itu pemimpin pada keluarganya dan ia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin ".(Bukhori no.7138 dan Muslim no.1829).

Dan dari Abi Ya'la Ma'qil bin Yasar rodhiyallohu 'anhu Ta'ala beliau berkata : aku telah mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa salam berkata :

ما من عبد يسرعيه الله رعية يموت يوم يموت وهوغاش لرعيته إلا حرم لله عليه الجنة...وفيرواية : فلم يحطها بنصحه لم يجد رئحة الجنة

" Tidaklah seorang hamba meninggal di hari dia meninngal dalam keadaan Alloh memberikan tanggungjawab untuk mengurusi orang-orang yang dipimpinnya sedangkan dia menipu rakyatnya (orang yang dipimpinnya) melainkan Alloh haromkan surga baginya " (muttafaqun 'alaih). dan dalam riwayat lain : " dia tidak memberikan nasehat (bimbingan agama) kepada orang-orang yang dipimpinnya dengan suatu nasehat, ia tidak akan mendapati baunya surga".(Muslim no.142).

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahulloh ta'ala berkata : "wajib bagi pemimpin (suami) bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang dipimpinnya, berbuat baik kepada mereka, memperhatikan kemaslahatan (dunia dan lebih-lebih akhirat) mereka, menyerahkan urusan kepada orang sesuai dengan keahliannya, mencegah kejelekan, karena mereka akan ditanya tentang apa yang mereka pimpin".(kitabul imaroh hal.459-460).

Suatu kemestian bagi suami sebagai pemimpin untuk menempuh jalan nasehat dalam rangka menjaga kemaslahatan orang-orang yang ia pimpin di kehidupan dunia dan akhirat, maka tanggungjawab mereka mencegah setiap kejelekan di dalam agama mereka, berupa pemikiran-pemikiran yang rusak, akhlaq yang tercela dan apa saja yang menghantarkan kepada perkara yang demikian itu di dalam rumahnya.

Dari sinilah semestinya calon suami atau seorang suami minimalnya ia mempunyai pandangan dan rencana dari sisi pendidikan agama sebagai modal utama dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Demikian juga semestinya ia telah menyiapkan istrinya untuk menjadi pendidik anak-anaknya kelak karena :

“Ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya”,

Perlu juga diperhatikan, bahwa mendapatkan pengajaran agama termasuk salah satu hak istri yang seharusnya ditunaikan oleh suami dan termasuk hak seorang wanita yang harus ditunaikan walinya. Akan tetapi pada kenyataannya seringkali hak ini tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Sehingga tepat sekali ucapan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullohu yang membagi manusia menjadi tiga macam dalam mengurusi wanita:

Pertama: Mereka yang melepaskan wanita begitu saja sekehendaknya, membiarkannya bepergian jauh tanpa mahrom, bercampur baur di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di tempat kerja seperti kantor dan di rumah sakit. Sehingga mengakibatkan rusaknya keadaan kaum muslimin.

Kedua: Mereka yang menyia-nyiakan wanita tanpa taklim, membiarkannya seperti binatang ternak, sehingga ia tidak tahu sedikit pun kewajiban yang Alloh Ta'ala bebankan padanya. Wanita seperti ini akan menjatuhkan dirinya kepada fitnah dan penyelisihan terhadap perintah-perintah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, bahkan akan merusak keluarganya.

Ketiga: Mereka yang memberikan pengajaran agama kepada wanita sesuai dengan kandungan Al Qur’an dan As Sunnah, karena melaksanakan perintah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”(QS.At- Tahrim: 6).

Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata : “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya/ dimintai tanggung jawab tentang apa yang dipimpinnya.” (Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829) (Nashihati lin Nisa’, Ummu ‘Abdillah Al-Wadi`iyyah, hal. 7-8).

Para pendahulu kita yang sholih sangat memperhatikan pendidikan agama bagi keluarga mereka. Mereka tidak melalaikan orang-orang yang berada dalam rumah mereka (keluarga). Tidak seperti kebanyakan manusia pada hari ini yang sibuk dengan urusan mereka di luar rumah sehingga melalaikan pendidikan istrinya dan anak-anaknya.

Lihatlah keluarga Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani rohimahullohu. Beliau demikian bersemangat menyebarkan ilmu di tengah keluarganya dan kerabatnya sebagaimana semangatnya menyampaikan ilmu kepada orang lain. Kesibukan beliau dalam dakwah di luar rumah dan dalam menulis ilmu tidaklah melalaikan beliau untuk memberi taklim kepada keluarganya. Dari hasil pendidikan ini lahirlah dari keluarga beliau orang-orang yang terkenal dalam ilmu khususnya ilmu hadits, seperti: saudara perempuannya Sittir Rakb bintu ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar Al-’Asqolani, istrinya Uns bintu Al-Qadhi Karimuddin Abdul Karim bin ‘Abdil ‘Aziz, putrinya Zain Khatun, Farhah, Fathimah, ‘Aliyah, dan Robi`ah. (Inayatun Nisa bil Haditsin Nabawi, hal. 126-127).

Lihat pula bagaimana Sa’id Ibnul Musayyab rohimahullohu membesarkan dan mengasuh putrinya dalam buaian ilmu hingga ketika menikah suaminya mengatakan ia mendapati istrinya adalah orang yang paling hapal dengan kitabulloh, paling mengilmuinya, dan paling tahu tentang hak suami. (Al-Hilyah, 2/167-168, As-Siyar, 4/233-234)

Demikian pula kisah keilmuan putri Al-Imam Malik rohimahullohu. Dengan bimbingan ayahnya, ia dapat menghapal Al-Muwaththo’ karya sang Imam. Bila ada murid Al-Imam Malik membacakan Al-Muwaththo’ di hadapan beliau, putrinya berdiri di belakang pintu mendengarkan bacaan tersebut. Hingga ketika ada kekeliruan dalam bacaan ia memberi isyarat kepada ayahnya dengan mengetuk pintu. Maka ayahnya (Al-Imam Malik) pun berkata kepada si pembaca: “Ulangi bacaanmu karena ada kekeliruan”. (Inayatun Nisa’, hal. 121).

Renungilah wahai calon suami dan para suami perkataan Alloh Ta'ala :

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Alloh serta keridhoanNya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”(QS.Al-Hadid: 20).

Asy-Syaikh Abdurrohman bin Nashir As-Sa’di rohimahullohu dalam Tafsirnya,“Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga) dan ancaman (adzab dan neraka) yang ada di hadapanmu, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrulloh, mengenali dan mencintaiNya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Alloh daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rohimahullohu melanjutkan,“Kemudian Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rohman, hal. 841).

Suatu ketika Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu melihat Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rosululloh, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!”

Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (At-Tirmidzi no. 2377, dishohihkan Asy-Syaikh Al-Albani rohimahullohu dalam Shohih At-Tirmidzi).
By Andre and Nisa
http://obat-penyejuk-hati.blogspot.com
Like Me: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg

Renungan

Feedage Grade B rated